Minggu, 04 Mei 2014

"Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus"



SLB ( sekolah luar biasa)

Pendidikan luar biasa, seperti yang termuat dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50: menjelaskan bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental, dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal. Pendidikan luar biasa bertujuan untuk membekali siswa berkebutuhan khusus untuk dapat berperan aktif didalam masyarakat. Dalam PP No. 72 tahun 1991 dijelaskan bahwa :

   Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (www.theceli.com/dokumen/produk/pp/1991/72-1991.html).
   Dalam penyelengaran pendidikan luar biasa, Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa mengklasifikasikan pendidikan kedalam lima bidang, yaitu:

1.      SLB-A, untuk para tunanetra (buta)
Anak Tunanetra adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan (Kaufman & Hallahan). Tunanetra terbagi atas 2, yaitu: Kebutaan Total, yaitu dimana indera penglihata seseorang benar-benar sudah tidak dapat berfungsi lagi dan Low Vision, yaitu seseorang dikatakan Low vision apabila orang tersebut mengalami kekurangan penglihatan.

Sistem belajar efektif
Untuk mengetahui sistem belajar yang efektif bagi penyandang tunenetra, ada beberapa prinsip yang harus kita ketahui terlebih dahulu. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (SLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, perbedaan dari individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Karena adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang berhubungan dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak.

 Prinsip totalitas
Anak tunanetra kemungkinan dapat memperoleh pengalaman objek secara utuh jika menggunakan semua pengalaman alat inderanya yang masih berfungsi untuk memahami suatu konsep. Hal tersebut disebut juga dengan multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.

 Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang memudahkan siswa untuk belajar dan sekaligus sebagai motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
Strategi Sistem Belajar pada SLB-A
  • Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Siswa tidak hanya diajarkan tentang pembelajaran akademis, namun siswa harus diajarkan mengenai objek-objek yang ada disekitarnya dan diusahakan untuk menggunakan objek tersebut secara langsung
  • Guru perlu merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak, karena terdapat perbedaan-perbedaan jelas dari masing-masing anak yang mengalami kebutaan, seperti penerimaan diri, ras, budaya, keluarga, serta tingkatan dari kebutaan itu sendiri juga dapat mempengaruhi bagaimana anak tersebut belajar. Guru disarankan untuk membedakan kelas bagi anak yang mengalami kebutaan total dan low vision; dan juga guru diharapkan mengerti mengenai perbedaan-perbedaan kognisi dari anak tersebut.
  • Buatlah satu mata pelajaran, dimana siswa-siswa dapat menceritakan tentang dirinya dan diajarkan untuk terbuka dan menerima diri masing-masing bagi siswa tertentu atau dapat juga membuat sesi konseling bagi siswa yang membutuhkan hal tersebut.
  • Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi karena seperti yang kita ketahui anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Anak penyandang tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Untuk memudahkan proses tersebut, dibutuhkannya media atau alat yang perlu dikembangkan untuk anak tunanetra agar dapat memahami dan merasakan suatu objek.
  • Seperti yang dapat dilihat pada prinsip kedua, guru atau pembimbing bagi anak tunanetra disarankan untuk memberikan suatu kegiatan kegiatan yang bersifat outdoor, dimana anak-anak tunanetra dapat dikenalkan dengan objek-objek alam dengan menggunakan alat indera yang masih berfungsi.
  • Berikan waktu atau kegiatan bagi anak/siswa tunanetra untuk mengembangkan potensinya masing-masing, seperti bernyanyi, memainkan musik, melukis, dan lain-lain.

Metode Pengajaran
 Metode Ceramah
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena dalam pelaksanaan metode ini guru menyampaikan materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar penyampaian materi dari guru.

Metode Tanya Jawab
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena metode ini merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.

Metode Diskusi
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena mereka dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode diskusi kemampuan daya pikir siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan.

Metode Sorogan
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra karena adanya bimbingan langsung dari guru kepada anak didik dan seorang guru dapat mengetahui langsung sejauh mana kemampuan anak didiknya dalam memahami suatu materi pelajaran.

Metode Bandongan
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra Inti karena guru memberikan penjelasan materi kepada anak didik tidak secara perorangan. Metode ini merupakan kebalikan dari metode sorogan.Tunanetra dapat mengikuti metode ini, karena metode ini dapat diikuti dengan tanpa menggunakan indera penglihatan.

  Metode Drill
Metode ini dapat diterapkan kepada siswa tunanetra jika materi yang disampaikan dan media yang digunakan mampu mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.


Fasilitas
Alat bantu menulis huruf Braille (Reglette, Pen dan mesin ketik Braille); alat bantu membaca huruf Braille (Papan huruf dan Optacon); alat bantu berhitung (Cubaritma, Abacus/Sempoa, Speech Calculator), serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder. Guru yang mengajar di sekolah tersebut juga merupakan guru yang telah diberikan pelatihan khusus untuk menangani anak tunanetra.

Tujuan pembelajaran
 Menjadikan murid lebih terampil dalam membuat sesuatu.
Menjadikan murid lebih mandiri dalam menghadapi suatu permasalahan.
 Diharapkan murid lebih dapat bersosialisasi terhadap lingkungan di sekitarnya.

Manajemen kelas
Gaya penataan kelas yang digunakan dalam sekolah ini adalah gaya seminar atau bentuk U karena guru dapat duduk di tengah-tengah murid dan dapat berinteraksi langsung dengan murid dengan cara duduk berhadapan dengan murid. Gaya manajemen kelas yang diterapkan adalah gaya manajemen kelas otoritatif karena gurulah yang mengontrol langsung materi yang diberikan dalam kegiatan belajar mengajar dan perilaku murid.

2.      SLB-B, untuk para tunarungu (tuli-bisu)
Anak Tunarungu/Tunawicara/wicara adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.

Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).

Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

Belajar Bahasa Melalui Pendengaran

Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).

Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

Belajar Bahasa secara Manual

Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Metode pengajaran yang paing tepat untuk digunakan di sekolah SLB B yang saya miliki adalah TCL (teacher centered learning). Saya memilih menggunakan metode ini karena saya berpikir anak-anak yang memiiki kekurangan mental apabila kita biarkan dan menyuruhnya belajar secara mandiri maka yang terjadi adalah anak tersebut akan bermain-main dengan temannya. Dengan pembelajaran yang berpusat pada guru maka murid yang memiliki kekurangan tadi dapat di bimbing oleh guru dalam melaksanankan pembelajaran di kelas. Selanjutnya guru tinggal focus pada perilaku murid, mengarahkan para murid. Yang dimaksud dengan mengarahkan adalah member pujian kepada anak yang melakukan suatu kebaikan dan melarang murid ketika dia melakukan sesuatu yang buruk.

Tujuan Pembelajaran
            Tujuan dari pembelajaran di sekolah saya adalah:
1.      Membantu anak tuna rungu dalam mengembangkan kemampuan mereka
2.      Membantu tuna rungu agar tidak tertinggal
3.      Memberi mereka kesempatan dalam berkarya
4.      Membantu memulihkan pendengaran mereka menggunakan fasilitas yang ada
5.      Memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendiri dan mereka memiliki teman
6.      Mengajarkan mereka tentang kehidupan
7.      Memberi mereka pengetahuan yang dapat digunakan untuk masa depan mereka
8.      Memotivasi mereka agar selalu bersemangat dalam menjalani hidup

Manajemen Kelas
Manajemen kelas yang efektif akan memaksimalkan kesempatan pembelajaran murid (Charles,2002;Everstone, Emmer, & Worsham, 2003). Jadi saya akan menggunakan manajemen kelas yang se efektif mungkin, mungin dengan cara memperkejakan seorang guru yang membimbing dan menata kegiatan kelas bukan guru yang hanya menekankan pada disiplin. Dan untuk selanjutnya saya akan mendesain lingkungan fisik kelas. Ada beberapa hal yang akan saya perhatikan dalam mendesain lingkingan fisik kelas, yaitu:

1.      Mengurangi kepadatan di tempat lalu lalang
2.      Memastikan guru dapat mlihat semua murid
3.      Materi pengajaran dan pembelajaran murid mudah di akses
4.      Murid harus bisa melihat guru yang menjelaskan pelajaran di depan kelas

Dan gaya penataan kelas yang saya gunakan di dalam kelas adalah gaya auditorium. Saya  memilih gaya ini karena penataan ini membatasi kontak murid tatap muka dan guru bebas bergerak kemana saja. Ini akan membantu guru dalam mengawasi  seluru kelas. Dan untuk selanjutnya saya akan berusaha menciptakan lingkungan yang positif untuk pembelajaran. Caranya adalah saya akan menjelaskan beberapa hal kepada murid sebelum pelajaran di mulai, yaitu:

1.      Mengajarkan aturan dan prosedur
2.      Menjalin hubungan yang positif dengan murid
3.      Mengajak murid untuk berbagi dan mengemban tanggung jawab
4.      Memberi hadiah pada perilaku yang tepat


3.      SLB-C, untuk para tunagrahita (cacat mental)
Anak Tunagrahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Pembelajaran untuk tuna grahita ditujukan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.Klasifikasi tuna grahita berdasarkan pada tingkatan IQ.

Tunagrahitaringan (IQ : 51-70),
 Tunagrahitasedang (IQ : 36-51),
Tunagrahitaberat (IQ : 20-35),
Tunagrahitasangatberat (IQ dibawah 20).

Asas pengajaran yang selama ini telah diterapkan di sekolah luar biasa bagian C yaitu:

a.Asas Keperagaan 
Karena anak tuna grahita sangat lambat daya tangkapnya maka penggunaan alat bantu mengajar sangat bermanfaat. Manfaat penggunaan alat peraga bagi anak tuna grahita yaitu untuk menarik minat anak untuk belajar agar anak tidak cepat bosan karena anak tuna grahita cepat sekali bosan dalam  menerima pelajaran, mencegah verbalisme yaitu anak hanyatahu kata-kata tanpa mengerti maksudnya anak tuna grahita sering menirukan apa yang didengar atau dikatakan oleh temannya padahal mereka tidak tahu maksud yang dikatakan tersebut, dengan alat peraga pengalaman anak akan diberikan secara baik yaitu dari yang paling kongkret menuju ke hal yang kongkret akhirnya ke hal-hal yang abstrak, anak akan mendapat pengertian yang mendalam. Untu kanak tuna grahita penggunaan alat peraga ini lebih banyak karena berguna membantu proses berpikir anak, meskipun pengertian materi-materi tersebut sangat sederhana.

b.Asas Kehidupan Konkret   
Di dalam penerapan asas ini anak diperlihatkan dengan benda atau dengan situasi yang sesungguhnya, kemudian dijelaskan pula penggunaan atau kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu contoh anak diajak kepasar, dikenalkan alat-alat atau kebutuhan makanan sehari-hari. Misal: panci, sendok, piring, garpu dan lain-lain beserta penggunaan atau bahan makan missal beras, sayuran, gula, dan sebagainya. Atau contoh lain anak dikenalkan alat-alat yang dipergunakan untuk membersihkan gigi, dijelaskan bagaimana cara menggunakan sekaligus diberi pengertian dengan menggosok gigi secara rutin dapat terjaga kesehatan giginya.


c.Asas Sosialisasi
Bersosialisasi penting sekali bagi anak tuna grahita. anak tuna grahita harus belajar mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa bahwa dirinya punya pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan pribadi yang lain. Dengan penerapan asas ini diharapkan anak terbelakang dapat menemukan tempat tertentu dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya dan dapat mengembangkan tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima dalam masyarakat. 

d.Asas Skala Perkembangan Mental 
Mengingat bahwa anak tuna grahita mempunyai keterbelakangan dalam kemampuan berpikir, akibatnya ada anak yang mempunyai umur kalender lebih banyak, sedang umur mentalnya dibawah umur kalendernya. Oleh sebab itu dalam pengajaran diterapkan asas skala perkembangan mental. Asas ini berhubungan dengan penempatan anak di dalam kelas-kelas. Pengajaran akan berhasil apabila di dalam suatu kelas perkembangan mental anak sama atau hamper sama, sehingga memudahkan dalam memberikan materi pelajaran. Meskipun demikian dalam menyampaikan pelajaran guru harus menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.

e.Asas Individual 
Maksud asas individual yaitu pemberian bantuan atau bimbingan kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya agar dapat belajar dengan baik. Asas ini penting sekali bagi anak tuna grahita dikarenakan kemampuannya yang terbatas sehingga menghambat perkembangan kepribadian. Oleh karena itulah perlu pengajaran individual. Karena selain kemampuan yang terbatas, anak tuna grahita cenderung terganggu emosinya/ emosi tidak stabil dimana hal ini merupakan penghambat, maka perlu pengajaran individual guna mencari sebab dan cara mengurangi gangguan tersebut.

  Implikasi pendidikan bagian tunagrahita:
1.      Terapigerak
2.      Terapibermain
3.      Kemampuanmerawatdiri
4.      Keterampilanhidup
5.      Terapibekerja

 Metode Pengajaran

         SLB-C
Untuk anak SLB-C atau mampu didik metode pengajaran yang dapat digunakan adalah metode ceramah oleh guru seperti pada tingkat Sekolah Dasar lainnya. Dalam hal ini guru menerangkan materi yang diajarkan. Setelah itu guru dapat melakukan tanya jawab dengan murid sehingga murid lebih mampu untuk mengerti apa yang diajarkan. Guru juga bisa menggunakan alat peraga untuk beberapa pelajaran agar anak lebih tertarik untuk belajar dan mampu untuk mengingat lebih baik materi pembelajarannya. Setiap minggunya juga dapat dibuat pelaporan kinerja sehingga guru dapat mengetahui perkembangan anak secara baik juga memberikan reward bagi anak yang berkembang dengan baik dan disiplin dalam kelas.

         SLB-C1
Untuk anak SLB-C1 atau mampu latih metode pengajaran yang dapat digunakan adalah ceramah secara efektif dengan menggunakan kontak mata yang baik, isyarat, juga suara yang jelas. Guru dapat membangun komunikasi yang baik dengan murid sehingga murud merasa nyaman saat belajar. Karena mereka merupakan murid yang mampu didik maka harus disediakan berbagai alat untuk menunjang pembelajaran mereka.

Mekanisme Pengajaran

         SLB-C
Mekanisme pengajaran yang dapat diterapkan bisa sama dengan anak Sekolah Dasar pada umumnya. Bisa digunakan waktu 30-35 menit untuk setiap mata pelajarannya. Yaitu dengan 20 menit ceramah oleh guru dan 10 menit tanya jawab dengan siswa.

         SLB-C1
Pada kelas ini mekanisme yang digunakan dapat digunakan waktu 120 menit. Dimana 15 menit pertama guru akan memperkenalkan alat, 30 menit selajutnya guru akan memperagakan keterampilan yang akan dilatih. 75 menit kemudian para peserta didik akan memperaktekkan keterampilan tersebut dan dibantu dengan guru.

 Managemen Kelas

         SLB-C
-          Gaya Penataan
Dapat digunakan gaya seminar yaitu gaya susunan kelas dimana sejumlah besar murid duduk berbentuk lingkaran, persegi, atau bentuk U. Pada gaya ini guru akan lebih mudah untuk menjangkau murid-muridnya sehingga guru lebih mudah mengetahui apa yang dilakukan murid dan mengetahui apakah murid sudah mengerti atau tidak

-          Stategi Umum
Dapat digunakan gaya otoritatif yaitu melibatkan murid dalam kerja sama give and take dan menunjukkan sikap perhatian kepada mereka. Sehingga mereka mampu untuk berkerja sama dengan teman, tidak cepat puas, dan berusaha mencapai penghargaan tertinggi.

         SLB-C1
-          Gaya Penataan
Dapat digunakan gaya klaster yaitu gaya susunan kelas dimana sejumlah murid berkerja dalam kelompok kecil. Pada gaya penyusunan kelas ini anak dapat berusaha untuk mengerjakan keterampilan mereka secara bersama-sama. Atau dapat juga digunakan gaya off-set yaitu gaya susunan kelas dimana sejumlah murid duduk di bangku tetapi tidak duduk berhadapan langsung satu sama lain. Gaya ini dilakukan apabila guru ingin menguji murid satu per satu dengan keterampilan yang mereka miliki yang membutuhkan konsentrasi sehingga mereka tidak saling mengganggu satu sama lain
.
-          Strategi Umum
Dapat digunakan gaya otoritatif juga yaitu melibatkan murid dalam kerja sama give and take dan menunjukkan sikap perhatian kepada mereka. Sehingga mereka mampu untuk berkerja sama dengan teman, tidak cepat puas, dan berusaha mencapai penghargaan tertinggi.

  Tujuan Pembelajaran
         SLB-C
- Mengembangkan kemampuan akademik peserta didik secara optimal agar dapat mandiri
  dalam kehidupan.
- Menyiapkan peserta didik agar memiliki dasar-dasar kecerdasan, pengetahuan, keperibadian,
   serta akhlak yang mulia.
Membekali peserta didik untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih lanjut
Menyiapkan peserta didik agar dapat bersosialisasi di masyarakat.

         SLB-C1
- Mengembangkan non akademik peserta didik secara optimal agar mandiri dapat mandiri
   dalam kehidupan
- Menyiapkan peserta didik agar memiliki keterampilan untuk bekal hidup mandiri
- Mempersiapkan peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang trampil
- Menyiapkan peserta didik agar dapat bersosialisasi di masyarakat.

4.       SLB-D, untuk para tunadaksa (cacat tubuh)
Karakterisitik anak tunadaksa adalah: anggota gerak tubuh tidak lengkap, bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak normal, kemampuan gerak sendi terbatas, ada hambatan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari hari.
Kelainan atau kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki dampak langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder), baik terhadap diri anak yang memiliki kecacatan itu sendiri maupun terhadap keluarga dan masyarakat.

Dampak langsung atau primer dari kecacatan tunadaksa adalah adanya gangguan mobilitas atau ambulasi, gangguan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity of Daily Living/ADL), gangguan dalam komunikasi, gangguan fungsi mental, dan gangguan sensoris. Sedangkan dampak tidak langsung atau dampak sekunder adalah reaksi penyandang kelainan tersebut (Franklin C.Schortz,1980). Artinya bagaimana anak menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh kecacatan yang disandang dalam kehidupannya. Semua dampak kecacatan tersebut akhirnya akan menimbulkan permasalahan. Karena itu, masalah tersebut perlu segera memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.

Pada dasarnya kebutuhan anak Tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: kebutuhan untuk memperoleh pelayanan medik guna mengurangi permasalahan yang dialami anak di bidang medis, kebutuhan untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi sebagai dampak dari adanya kecacatan tunadaksa, dan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan khusus. Rehabilitasi pendidikan diwujudkan berupa Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagian D (Tunadaksa).

Tujuan umum pendidikan di SLB-D adalah untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal dan tujuan khususnya agar siswa dapat mandiri minimal dapat mengurus dirinya sendiri, menjadi lebih baik. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut di sekolah telah melaksanakan berbagai kegiatan seperti pembelajaran, latihan, dan bimbingan baik pada siswa maupun pada orang tuanya.  


PENDIDIKAN YANG IDEAL BAGI ANAK TUNADAKSA

Tujuan pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Frances P. Connor (1995) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu: (1) pengembangan intelektual dan akademik, (2) membantu perkembangan fisik, (3) meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, (4) mematangkan aspek sosial, (5) mematangkan moral dan spiritual, (6) meningkatkan ekspresi diri, dan (7) mempersiapkan masa depan anak.

Adapun prinsip dasar program pendidikannya meliputi:
1.Keseluruhan anak (All the children)
2. Kenyataan (Reality)
3. Program yang dinamis (A dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerjasama (Cooperative)

 Sedangkan prinsip khusus pendidikannya terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi. Multisensori berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik. Prinsip individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim.

Pembelajaran di sekolah idealnya sebagai berikut:
a.Perencanaan kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan yang diindividualisasikan
b. Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi 
c. Penataan Lingkungan Belajar. Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan, mudah
    keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
d. Personil: guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter ahli
   ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru BP, social worker, fisioterapist, occupational
   therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic. 
e. Bimbingan Belajar Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis,
   dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin
   sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki program sekolah
   dasar.
f. Pembinaan Karier dan Pekerjaan


Untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun vokasional.

Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan asesmen karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa. Berkaitan dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dll. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.

Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
            Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna
 


SISTEM PENDIDIKAN ATD DI RUANG SUMBER BELAJAR (RSB) 

cara melakukan proses belajar mengajar di Ruang Sumber Belajar (RSB). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa: RSB lebih dapat meningkatkan potensi anak secara optimal, karena di RSB terdapat banyak sumber dan alat-alat yang dapat membantu pemahaman anak dalam belajar. Disamping itu juga anak sambil latihan bergerak dengan berpindah antar RSB, anak tidak mudah bosan dan pengajaran yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

1. Tujuan Belajar di RSB
Secara umum bertujuan untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin, dan secara khusus agar anak Tunadaksa dapat mandiri baik dalam mengurus dirinya sendiri maupun dapat menghidupi dirinya. Minimal menjadi lebih baik atau selangkah lebih maju dari apa yang telah dimiliki anak.

2. Proses Belajar di RSB
Langkah-langkah belajar di RSB melalui prosedur sebagai berikut:ATD→PENGELOMPOKAN→ASSESMEN→PENYUSUNAN PROGRAM (IEP)→PELAKSANAAN PBM DI RSB→EVALUASI→FOLLOW UP.
Berdasarkan proses tersebut, maka RSB ditata sesuai dengan kurikulum yang digunakan, yaitu meliputi:
a. Ruang assesmen
b. Ruang program umum yang terdiri dari semua bidang studi yang diajarkan, yaitu: RSB     Agama, RSB Bahasa, RSB Matematika, RSB IPA, RSB IPS, RSB PPKN, RSB Kesenian,
    RSB Keterampilan, dan RSB Penjaskes.
c. Ruang program khusus yang terdiri dari: RSB Bina Diri, RSB Bina Gerak, dan RSB Bina
    Bicara.
d. Ruang program muatan lokal yang terdiri dari: RSB Kesenian Daerah
e. Ruang program pilihan yang terdiri dari: RSB Pertukangan, menjahit,   memasak,
    komputer, fotograpi, dll.

3. Cara Belajar di RSB
Sebelum belajar di RSB, ATD perlu diklasifikasikan sesuai dengan kriteria menjadi kelompok akademik, kelompok keterampilan, kelompok pengembangan, dan kelompok Autis. 

Adapun jenis asesmen yang dilakukan pada anak:
1) Pengumpulan data kemampuan dan ketidakmampuan fisik tentang: kekuatan otot-otot, luas
    daerah gerak sendi (Range of Motion/ROM), kemampuan motorik halus dan motorik kasar,
   dan kemampuan gerak dasar tubuh yang dilakukan oleh Fisioterapist dan dokter ahli
   rehabilitasi.
2) Pengumpulan data kemampuan psikis tentang: tingkat kecerdasan, bakat, minat, dan emosi,
    dilakukan oleh Psikolog.
3) Pengumpulan data kemampuan akademik dan keterampilan dasar tentang: calistung,
   bidang studi, dan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity of Daily  Living/ADL) dilakukan
   oleh guru-guru.
4) Pengumpulan data kemampuan sosialnya, dilakukan oleh guru dan sosial worker.
5) Pengumpulan data kemampuan keterampilan/vocasional dilakukan oleh guru keterampilan.

Penyusunan Program
1) Program kelompok disusun sebagai berikut:
a) Kelompok akademik programnya sesuai kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan nyata anak.
b) Kelompok keterampilan programnya: Calistung dan keterampilan dasar sesuai dengan kemampuannya.
c) Kelompok pengembangan programnya: sosialisasi, bermain, dan day care d) Kelompok autis, programnya individual

2) Program individual disusun berdasarkan kemampuan masing-masing anak
Proses belajar mengajar di RSB dilaksanakan per kelompok yang kemampuannya sama atau hampir sama. Proses belajarnya bertitik tolak pada kemampuan masing-masing anak dengan berprinsip pada individualisasi  pengajaran.  
a.       Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan baik pada saat proses belajar berlangsung maupun setelah selesai (Evaluasi proses dan hasil).
b.       Bimbingan Belajar
Bagi ATD yang mengalami kesulitan dalam belajar perlu diberikan bimbingan baik secara individual maupun secara kelompok dengan remedial teaching. 
c.       Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Kegiatannya dimulai sejak melakukan asesmen kemampuan keterampilan dasar oleh guru keterampilan dan psikolog untuk mengetahui kemampuan dan minatnya. Selanjutnya disusun programnya sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak. Pelaksanaannya diintegrasikan dalam proses belajar mengajar. Bagi siswa pasca sekolah perlu pembinaan dan latihan-latihan khusus untuk mempersiapkan pekerjaannya.


5.      SLB-E, untuk para tunalaras (kenakalan anak – anak)
Anak Tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, dan biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya.
Jenis jenis layanan

a.      Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang menimbulkan atau menambah adanya gangguan perilaku.
Adapun kondisi yang tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut
1)      Lingkungan fisik yang tidak memadai seperti ukuran kelas yang kecil dan sanitasi yang bruruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa bosan dan tidak betah berada disekolah.
2)      Disiplin  sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan  sekolah yang member hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran siswa. Keadaan ini akan membuat anak merasatidak puas terhadap sekolah
3)      Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik. Akibatnya murid sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jaman belajar, kadang-kadang digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
4)      Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak. Akibatnya anak harus mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal itu tidak sesuai dengan bakatnya. Demikian pula kurikulum yang berubah-ubah menjadikan anak merasa jenuh, dan melelahkan.
5)      Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat mengakibatkan anak bosan dan merasa lelah.

Selanjutnya Kauffman (1985) mengemukakan ada enam kondisi yang menyebabkan ketunalarasan dan kegagalan belajar, yaitu:

1)      Guru yang tidak sensitive terhadap kepribadian anak
2)      Harapan guru yang tidak wajar
3)      Pengelolaan belajar yang tidak konsisten
4)      Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
5)      Pola reinforcement yang keliru, diberikan pada saat anak berperilaku tidak wajar
6)      Model/contoh yang tidak baik dari guru dan dari teman sebaya.

Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan tersebut agar dihindari sehingga tidak terjadi perkembangan anak kearah penyimpangan perilaku dan kegagalan akademiknya. Lingkungan sekolah yang ditata dengan baik akan menyenangkan anak belajar dan terhindar dari perasaan bosan, lelah, serta tingkah laku yang tidak wajar.

b.      Menentukan model-model dan teknik pendekatan

-Model pendekatan
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut.

-Model biogenetic
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan genetic atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungannya

-Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsibahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, penangannya tidak hanya ditujukan kepada anak tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal

-Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian karena berbagai factor sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai dengan usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang tidak teratasi. Oelh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.

-Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh kaena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar menguoayakan interaksi yang baik antara anak tentang lingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya. Rhoden (1967) menyatakan bahwa masalah perilaku adalah akibat interaksi destruktif antara anak dengan lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan sekelompok kebudayaannya)

Teknik pendekatan
Beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, di antaranya adalah sebagai berikut:
-Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil belajar dan nilai tes yang baik, serta anak hiperaktif menuju kearah perbaikan.
-Modifikasi perilaku
Salah satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan mengurangi perilaku antisocial adalah penyesuaian perilaku melalui operant conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita mngendalikan stimulus yang mengikuti respons. Pengondisian operant berdasarkan prinsip dasar bahwa perilaku adalah suatu fungsi konsekuensi penerapan stimulus positif segera setelah suatu respons merupakan hukuman.

Ada beberapa langkah melakukan modifikasi perilaku, yaitu:
a)      Menjelaskan perilaku yang akan diubah
b)      Menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam
c)      Mengatakan perilaku yang diterima.

Task analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan tugas dengan lengkap, membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat melakukannya, barulah anak mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu tertentu, mengadakan pujian bila anak berhasil.

a)            Strategi psikodinamika
Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendiri. Penganjur strategi ini menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnostic, perawatan, pengambilan keputusan, dan prosedur psikiatrik. Mereka melihat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda konflik jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan penyebabnya hanya menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.

b)            Strategi ekologi
Pendukung teknik, mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka perilaku anak akan baik pula.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar