Senin, 26 Mei 2014

" Statistika "



SAMPEL DEPENDEN DAN INDEPENDEN

Pengujian Sampel Independen Teknik statistik yang biasa dipergunakan untuk menguji perbedaan dua kelompok sampel adalah uji dengan sampel independent. Ciri dari sampel independen adalah sampling secara random, menganut prinsip homogenitas (varian populasi sama), observasi dilakukan secara independen (skor dalam tiap sampel tidak terikat satu sama lainnya), dan sampel diambil dari kelompok-kelompok yang berlainan, dengan tujuan melihat perbedaan 2 kelompok sampel yang tidak ada hubungannya atau berasal dari populasi yang berbeda. Misalnya: kelompok guru dan kelompok kepala sekolah, pria dan wanita, kelas VI A dan kelas VI B, siswa yang mengikuti bimbingan belajar dan siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar.


 Selain itu, sampel independen juga diuji dalam 2 kelompok dengan treatmen yang tidak sama. Misalnya : Anda ingin menguji perbedaan efektifitas penggunaan media audio (kelas III A) dengan media visual (kelas III B) terhadap prestasi Bahasa Indonesia.  Ketika kita bekerja dengan dua sampel independen kita berasumsi Bahwa jika sampel yang dipilih secara acak ( atau , dalam kasus penelitian medis , subjek secara acak ditugaskan untuk kelompok ) , dua sampel akan bervariasi hanya secara kebetulan dan perbedaan tidak akan signifikan secara statistik . Singkatnya , ketika info yang kami memiliki sampel independen kita mengasumsikan Bahwa nilai dari satu sampel tidak Mempengaruhi lainnya.


 Contoh penelitian menggunakan sampel independent yaitu, ketika memeriksa proporsi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan di dua kota yang berbeda . Ketika Investigasi proporsi mahasiswa dan sophomore siswa yang melaporkan tes kecemasan . Saat menguji apakah proporsi anak-anak sekolah tinggi dan perempuan yang merokok adalah sama .


Sampel independen dapat Terjadi dalam dua skenario :

·         Menguji Perbedaan antara dua Populasi tetap dengan menguji Perbedaan Antara sampel dari masing-masing populasi . Ketika Kedua sampel yang dipilih secara acak , kita dapat membuat kesimpulan tentang populasi .
·         Ketika Bekerja dengan subyek ( orang , hewan peliharaan, dll . ) Memilih sampel random dan kemudian Menetapkan setengah dari subyek untuk satu kelompok dan setengah yang lain .


Pengujian Sampel Dependent Teknik statistik dengan menggunakan sampel berhubungan untuk menguji perbedaan satu kelompok dengan dua treatmen yang berbeda; bergantung (terikat pada/tidak berdiri sendiri). Misalnya, menguji perbedaan prestasi belajar matematika sebelum diterangkan, dengan setelah diterangkan. Selain itu, sampel dependen juga untuk menguji perbedaan dua kelompok yang memiliki karakteristik yang sama dengan dua treatmen yang berbeda. Dua sampel data tergantung Bila setiap skor dalam satu sampel dipasangkan dengan skor tertentu dalam sampel lainnya . Singkatnya , ini jenis sampel terkait satu sama lain.

Contoh berikut diharapkan dapat memberikan gambaran kepada Anda, situasi penelitian yang menuntut pengujian perbedaan dua mean populasi yang saling berkorelasi. Contoh yang umum ditemui adalah desain pra uji–pasca uji (pre-test–post-test design), dimana untuk mengkaji perubahan yang terjadi akibat suatu perlakuan, kita sudah membandingkan perilaku atas kemampuan subjek penelitian sebelum dan sesudah perlakuan diberikan. Misalnya ketika ingin meneliti efektivitas penggunaan metode audio terhadap peningkatan prestasi mengarang pada siswa kelas IV. Langkah awal yang dilakukan adalah mengukur prestasi mengarang dengan menggunakan instrumen yang sudah dipersiapkan sebelumnya. kemudian kita mengkaji teknik yang tengah dikaji gunakan kepada mereka. Setelah itu, instrumen yang sama digunakan lagi untuk mengukur prestasi mengarang dari kelompok yang tengah diteliti.

Sampel dependen dapat Terjadi dalam dua skenario :
·         Kelompok A Bisa Diukur dua kali atau di pasangkan dengan dirinya sendiri: seperti dalam situasi pretest - posttest ( nilai pada tes sebelum dan sesudah pelajaran )
·         Sampel-sampel yang di teliti di ambil dari populasi dengan karakteristik yang sama.


PENGUJIAN SAMPEL BERPASANGAN NON PARAMETRIK


Uji statistik nonparametrik yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang berasal dari sampel yang berpasangan (related samples, paired samples, matched samples). Disebut sebagai sampel berpasangan, bila kelompok sampel pertama memiliki pasangan dari kelompok sampel kedua. Kelompok sampel pertama dan kedua, bisa berasal dari individu individu yang berbeda maupun individu-individu yang sama.


Dalam penelitian yang membandingkan dampak dari penyuluhan dengan metode yang berbeda (metode ke-1 anjang-sono, dan metode ke-2 diskusi) terhadap petani hortikultura, kemudian metode ke-1 diberikan kepada Kelompok Tani Hortikultura A dan metode ke-2 diberikan kepada Kelompok Tani Hortikultura B. Berarti individu-individu pada kelompok sampel pertama berbeda dengan kelompok sampel kedua, namun individu-individu pada kedua kelompok sampel dapat dianggap relatif sama karena sama-sama petani hortikultura. Penelitian lain bermaksud membandingkan dampak penyuluhan terhadap perilaku pemberian pakaian dari anggota Kelompok Peternak. Sebelum dilakukan penyuluhan dilakukan penilaian terhadap perilaku pemberian pakan kepada semua peternak anggota kelompok (pretest). Kemudian dilakukan penilaian kembali (post test) setelah mereka mengikuti penyuluhan.


 Berarti, kelompok sampel pertama dan kedua berasal dari individu-individu yang sama. Ketika melakukan penelitian, memasangkan dua kelompok sampel dari individu-individu yang sama akan lebih baik jika dibandingkan dengan memasangkan individu-individu yang berbeda, sebab homogenitas anggota sampel relatif lebih terjamin. Seandainya individuindividu yang ada dalam dua kelompok sampel berbeda maka homogenitasnya relatif kurang terjamin, sehingga akan menurunkan validitas internal dari penelitian yang dilaksanakan.


Salah satu contoh tes: Uji Chi Kuadrat (c2) Mc. Nemar

Fungsi Pengujian :
Untuk menguji perbedaan atau perubahan proporsi dua buah populasi yang hanya memiliki dua kategori berdasarkan proporsi dua sampel berpasangan. untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau perubahan proporsi sebelum dan sesudah kelompok sampel tertentu yang hanya memiliki dua kategori diberi perlakuan, dimana anggota kelompok sampel tersebut merupakan kontrol terhadap dirinya sendiri.


PENGUJIAN SAMPEL TIDAK BERPASANGAN NON PARAMETRIK


Uji statistik nonparametrik yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang berasal dari sampel tidak berpasangan (two independent samples). Metode pengujian sampel yang tidak berpasangan, antara lain didasari oleh realita sangat sulitnya untuk mendapatkan sepasang sampel yang homogen, sehingga dapat memenuhi prinsip-prinsip untuk menguji sampel yang berpasangan, kecuali dalam disain penelitian “sebelum” dan “sesudah”.


Secara praktis kita bisa menentukan pilihan, seandainya kita meragukan sampel berpasangan karena alasan keseragaman tadi, maka lebih baik dipilih pengujian statistik untuk sampel yang tidak berpasangan.


Salah satu contoh tes: Uji Fisher

Fungsi Pengujian :
Untuk menguji perbedaan proporsi dua buah populasi yang hanya memiliki dua kategori berdasarkan proporsi dua sampel tidak berpasangan. Jumlah n untuk tiap kelompok sampel tidak harus sama.


_ Pengujian Dua Sampel Berpasangan
o Uji Chi Kuadrat (c 2 ) Mc. Nemar
o Uji Tanda
o Uji Tanda Wilcoxon
o Uji Walsh
o Uji Randomisasi Data Berpasangan


_ Pengujian Dua Sampel Tidak Berpasangan
o Uji Fisher
o Uji Chi Kuadrat Dua Sampel Tidak Berpasangan
o Uji Median
o Uji Mann-Whitney
o Uji Kolmogorov-Smirnov Dua Sampel


_ Pengujian k Sampel Berpasangan
o Uji Q Cohran
o Uji Friedman


_ Pengujian k Sampel Tidak Berpasangan
o Uji Chi Kuadrat (c 2 ) untuk k Sampel Tidak Berpasangan
o Uji Median untuk k Sampel
o Uji Kruskal-Wallis




KESIMPULAN

        Sampel dependen yaitu sempel berhubungan yang pengujiannya dapat ditarik dengan mencari sampel-sampel yang memilki karakteristik sama atau hampir sama dan memasangkan sampel tersebut dengan dirinya sendiri atau pengujian berulang. Sampel independen yaitu sampel tidak berhubungan yang pengujiannya dapat di tarik dengan mengambil sampel dari populasi yang berbeda serta perlakuan yang berbeda dan sampel yang berasal dari populasi sama dengan cara random.

Minggu, 18 Mei 2014

"Psikologi Perkembangan"


Resume jurnal

Humor Kekerasan Film Anak-Anak Televisi Indonesia dan Pengaruhnya
Terhadap Pembentukan Pola Pikir Anak-Anak
Endah Agustiani*
endah.agustiani@gmail.com

PENDAHULUAN

Kekerasan adalah hal yang paling banyak mewarnai acara-acara televisi saat ini, baik itu acara lokal maupun import. Baik itu dalam berita-berita yang ditayangkan dengan tujuan agar masyarakat luas dapat menerima informasi tentang apa yang terjadi di luar wilayah dan pengetahuan mereka, maupun dalam tayangan-tayangan hiburan yang dibuat seperti sinetron, movie, sinema, acara sitkom, bahkan masuk dalam tayangan-tayangan dalam program anak. Kekerasan telah menjadi fenomena umum, mulai dari kasus-kasus kriminal yang disajikan dalam tiap tayangan program berita sampai masuk dalam ranah humor sebagai tontonan hiburan untuk masyarakat.

 Semua pemberitaan itu telah menjadi santapan sehari-hari saat menonton televisi, bahkan penonton bisa tertawa karena kekerasan telah dibalut oleh kekonyolan-kekonyolan para pemain di acara televisi, mulai dari perkataan sampai tindakan dan semua itu dianggap lumrah. Kekerasan tidak hanya berwujud pada tindakan secara fisik namun juga berupa psikis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penampilan yang menarik secara visual ini merupakan langkah awal memasuki dan mendekati dunia anak-anak yang penuh imajinasi dan lugu. Jam tayangnya pun merupakan jam tayang untuk anak-anak.

Meskipun berlabel BO (Bimbingan Orangtua) dan A (Anak-anak), namun terkesan jauh dari sifat mendidik, apalagi bila acara tersebut ditonton tanpa didampingi oleh orangtua atau orang yang lebih dewasa untuk bisa membantu anak mencerna pesan dari tayangan-tayangan tersebut. Apa yang nampak akan menjadi pemahaman bagi mereka tentang apa itu realitas, dan membentuk pola pikir sesuai dengan karakter-karakter yang dimainkan di dalam tayangan-tayangan tersebut.

Pentingnya penelitian ini mengacu pada bagaimana pada akhirnya apa yang ditayangkan di televisi terhadap proses pembentukan pola pikir penonton dalam hal ini adalah anak-anak. Pembentukan pola pikir terkait erat dengan proses pembentukan karakter atau kepribadian anak. Apa yang menjadi pola pemahaman akan berpengaruh sangat besar pada tindakan yang diambil. Oleh karena itu, penelitian ini penting dalam tahap menguraikan pesan dan visi yang terdapat dalam setiap film anak-anak dan pengaruhnya dalam membentuk pola pikir dan pemahaman atas realitas. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan pemahaman yang komprehensif tentang konsep humor kekerasan film anak-anak di televisi Indonesia dan keterkaitannya terhadap pembentukan pola pikir dan pemahaman realitas penonton anak-anak. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah membuka wacana dan pemikiran masyarakat untuk lebih peka terhadap efek kemajuan teknologi terhadap generasi muda,juga agar lebih mampu menguatkan pembentukan karakter generasi muda sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.


TEORI

Pemahaman mengenai kekerasan dapat dilihat dari berbagai pespektif, yang paling banyak digunakan yaitu teori psikologis, fenomena kekerasan, dan gejala kekerasan dalam sejarah manusia. Ketiga hal tersebut merasuk dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti kekerasan dalam pendidikan, struktural, agama dan budaya. Tindakan maupun perilaku dikatakan sebagai bentuk kekerasan jika sudah melampaui batas kemanusiaan (inhumanity), yang telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia. Beriring dengan hal itu (kekerasan), maka muncul juga gejalagejala yang mengarah pada perdamaian, keamanan, toleransi,kebajikan, dan kasih sayang, dan kedua hal itu saling bertumpang tindih dalam proses sejarah, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Suryo (Arifin, 2000: 32). Perbedaan antara perilaku kekerasan dengan tindakan kekerasan adalah, perilaku (behavior) dilakukan secara berulang– ulang hingga membentuk habit, sedangkan tindakan kekerasan bersifat sementara, dan pada kasus atau kejadian-kejadian tertentu.

Perilaku anak dalam mencontoh apa yang ia lihat dalam tontonan juga bisa di jelaskan dengan teori yang di kemukakan oleh Albert Bandura (Social learning theory). Lingkungan adalah faktor utama dalam proses pertumbuhan, akan tetapi dalam teori pembelajaran sosial dikatakan bahwa dorongan utama dari perkembangan adalah bersumber dari orang. Social learning theory menyatakan bahwa orang-orang belajar tentang perilaku sosial yang benar dengan cara mengobservasi dan mengimitasi model yang mereka lihat. Mengimitasi model merupakan elemen yang paling penting dalam bagaimana seorang anak belajar bahasa, berhadapan dengan agresi, mengembangkan perasaan moral, dan belajar perilaku sesuai dengan gendernya.

Teori pembelajaran Bandura yang terbaru disebut dengan teori kognitif sosial. Proses kognitif terjadi saat seseorang mengamati si model, mempelajari perilaku pada model tersebut, kemudian menyatukan apa yang yang telah dia perhatikan tersebut ke dalam sebuah pola perilaku yang baru. Dengan demikian, secara bertahap anak-anak akan membentuk standar penilaian atas tindakan mereka sendiri dan menjadi lebih selektif dalam memilih model yang merujuk pada standar tersebut.

Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan Bandura (1995) mengilustrasikan bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai penguat atau penghukum. Eksperimen ini juga mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran dan kinerja ( performance). Sejumlah anak taman kanak-kanak secara acak ditugaskan untuk melihat 3 film dimana ada seseorang (model) sedang memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka bobo. Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan, dan dipuji karena melakukan tindakan agresif.

Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif. Dalam film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si penyerang boneka. Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri berada di ruang penuh mainan, termasuk boneka bobo. Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Anak yang menonton film dimana perilaku penyerang diperkuat atau tidak dihukum apapun lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan si penyerang dihukum. Anak lelaki lebih agresif ketimbang anak perempuan. Namun, poin penting dalam studi ini adalah pembelajaran observasi terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika perilaku agresif diperkuat maupun tidak diperkuat. Poin penting kedua dalam studi ini difocuskan pada perbedaan antara pembelajaran dan kinerja karna murid tidak melakukan respon bukan berarti mereka tidak mempelajarinya. Dalam studi Bandura, saat anak diberi insentif ( dengan stiker atau jus buah) untuk meniru model, perbedaan dalam perilaku initatif anak dalam tiga kondisi itu hilang. Bandura percaya bahwa ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak memberikan respon yang dapat diamati, anak itu mungkin masih mendapatkan respon model dalam bentuk kognitif.

Menurut Bandura ada 4 proses yang terlibat didalam pembelajaran melalui pengamatan:

1.      Attention
Pengamat harus memberi perhatian pada apa yang dikatakan dan dikerjakan oleh model (orang yang diamati). Memberi perhatian kepada model dipengaruhi oleh karakteristik model tersebut. Orang yang hangat, memiliki kekuasaan, unik akan sanggup menyita perhatian dari pada orang yang dingin, lemah atau biasa-biasa saja.
Contoh : pengamat melihat seorang wanita yang sedang memegang seekor laba – laba besar. Ia merasa sangat takjub.

2.      Memory
Pengamat harus mengingat setiap informasi didalam ingatan sehingga dapat mengeluarkan ingatan tersebut saat diperlukan yang akan membantu pengamat meniru sifat model.
Contoh : pengamat selalu mengingat model yang tidak takut memegang laba-laba.

3.      Imitation
Pengamat harus mampu mengingat informasi dan kemudian meniru sikap yang dilakukan oleh model.
Contoh : pengamat akan meniru rasa tidak takut dan cara model memegang seekor laba-laba.

4.      Motivation
Pengamat harus memiliki beberapa alasan atau dorongan untuk meniru sikap model. Pada banyak kejadian, kita dapat memberikan perhatian dengan baik pada apa yang model lakukan, mengendapkan informasi tersebut dan memiliki alasan atau dorongan yang baik untuk melakukan tindakan yang dilakukan oleh model.

Perilaku meniru model ini lah yang nantinya akan di lakukan oleh anak ketika mereka dihadapkan dengan dontonan-tontonan yang mengandung kekerasan. Tahap awal dalam belajar adalah imitasi. Dengan kata lain, beragam materi yang masuk dalam benak seorang anak yang sedang menambah pengetahuannya akan teraktualisasi dalam perilaku meniru. Materi film yang terserap ke dalam jiwa anak-anak juga menjadi materi pembelajaran yang menambah pengetahuan dan terimplementasikan dalam bentuk kelakuan fisik yang dapat direkam oleh lingkungan sekitarnya.

 Pengaruh yang bisa ditimbulkan dari tayangan kekerasan bervariasi tergantung dari usia anak, jenis kekerasan yang dilihat, dan juga seberapa sering anak melihat kekerasan tersebut. Dalam teori tersebut ditekankan peran imitasi terhadap perilaku orang lain sebagai penyebab agresi. Orang yang baru saja melihat orang lain bertindak agresif cenderung melakukan hal yang sama pada situasi yang serupa. Imitasi atau peniruan merupakan salah satu faktor yang dominan pada anak-anak, karenanya timbul istilah bahwa anak-anak adalah imitator ulung. Proses inilah yang menjadikan usia anak sangat rentan terhadap pengaruh adegan kekerasan di televisi. 

Pada tahap ini, anak belum sampai pada proses berpikir yang cukup kompleks. Kemampuan meniru yang sangat besar menyebabkan anak memiliki kecenderungan meniru apa saja yang dia lihat dan dijadikan referensi. Proses meniru ini sebenarnya yang berbahaya karena pada saat meniru anak belum dibekali dengan kemampuan analisis atau berpikir yang cukup tentang layak atau tidaknya dia meniru sesuatu. 

Perkembangan kognitif anak tahap pra-operasional (18 bulan—7 tahun) PIAGET

Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara perseptual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk mengambil perspektif orang lain. Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini. 

Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Berpikir pra-operasional yang transductive (pemikiran yang meloncat-loncat). Tidak dapat melakukan pekerjaan secara berurutan . Dari total perintah hanya satu/ beberapa yang dapat dilakukan.

 Berpikir pra-operasional adalah imaginatif, yaitu menempatkan suatu objek tidak berdasarkan realitas tetapi hanya yang ada dalam pikirannya saja. Ketika kemudian anak diberi kan tontonan berupa kartun yang mengandung kekerasan, anak belum mampu untuk menalar tontonan tersebut apakah itu baik atau buruk. Anak-anak hanya tau bahwa tontonan itu lucu, enak, dan menghibur. Proses kognitif yang masih terbatas kemudian akan mengolah informasi yang masuk melalui tontonan kartun yang mengandung kekerasan tersebut. Informasi tersebut akan disimpan dalam memori si anak yang kemudian nantinya akan mempengaruhi perilaku mereka kedepannya. 

Tahap operasional konkret PIAGET

Anak dalam umur 2,5-5 tahun sudah memasuki tahap operasional konkrit. Dimana anak mulai mampu berfikir logis untuk mengganti cara berfikir sebelumnya yang bersifat intuitif-primitif, namun masih membutuhkan contoh-contoh konkrit. Disinilah peran televisi sebagai media komunikasi berperan terhadap perkembangan pola pemikiran anak. Dalam hal ini yang berkaitan dengan kegiatan anak-anak sudah bisa mencontoh perilaku yang dilihatnya. Misalnya jika menonton Film Kartun hal apa yang diserap oleh anak tersebut. Anak-anak merupakan konsumen media televisi yang populasinya besar sekali. Pada umumnya anak-anak senang sekali menonton tayangan yang menampilkan perkataan - perkataan yang baru mereka dengar. Jadi dengan demikian, kartun dapat dengan mudah untuk mempengaruhi bahasa kepada anak.


PEMBAHASAN

Kekerasan yang marak terjadi dalam realitas, seringkali di eksploitasi di media massa. Seperti apa yang diungkapkan dalam penelitain LIPI pada tahun 1998 yang dilakukan di empat kota (Medan, Ujungpandang, Bogor, dan Bekasi) menyimpulkan bahwa tingkat keseringan menonton film laga di televisi berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan. Hal ini terungkap bahwa setelah menonton film laga di televisi, responden memiliki persepsi bahwa ”hidup ini keras”. Efek kemudian terbentuk adalah senang berkelahi atau mesti bersikap keras dalam menghadapi perbedaan (Arifin, 2000: 96).

Televisi menjadi perhatian utama, karena televisi merupakan medium sehari-hari yang banyak digemari dan mudah diakses oleh orang-orang, bahkan menjadi sumebr informasi yang terpercaya dan aktual bagi orang-orang. Sayangnya di dalam program-progam yang ditayangkan di televisi banyak mengandung unsur kekerasan, bahkan untuk tayangan anak-anak sekalipun. Apapun nama acara yang ditayangkan di televisi, selalu mengandung unsur kekerasan baik itu acara berita maupun hiburan, yang dibalut dalam kisah drama, horor, humor, dan reality show, kekerasan bukan lagi milik film action, dan bahkan kekerasan telah menjadi cerita itu sendiri, cerita bukan lagi masalah alur dan makna.

Hal yang lebih memperparah adalah kekerasan yang dibalut oleh sensualitas, kedua hal itu seakan melekat menjadi satu paket, untuk lebih mengesankan atau mengaburkan kedua hal itu dibumbui oleh humor. Khususnya untuk acara anak-anak, karena sudah dibumbui oleh humor, seakan melegalkan tindakan maupun perilaku kekerasan dalam setiap tayangan. Hal ini dapat ditemui hampir di seluruh film maupun tayangan anak-nak lain, seperti film kartun Tom and Jerry, perselisihan kedua hewan itu seakan tidak pernah usai, selalu berisi persaingan, saling mengejar, dan balas dendam. Ada kala dimana si kucing yang menang, namun lebih sering si Jerry sang tikus lah yang menang. Mungkin hal yang hendak di tekankan di sini adalah bahwa ukuran tidak jadi masalah, besar tidak berarti lebih kuat dan pintar. Selain film tersebut di atas, kekerasan nampak juga pada film kartun Spongebob Squarepants, kekerasan yang dibalut oleh humor dan kekonyolan para pemainnya. Spongebob sebagai tokoh utama, selalu berlaku konyol namun dengan cara yang polos, tidak diperlihatkan sebagai karakter yang jahat atau suka berintrik, berbeda dengan karakter Mr. Crab yang mata duitan, atau Squidward yang sering menunjukan sikap iri dan jengkel terhadap Spongebob, merasa lebih baik dan bahkan sering membodohi Spongebob, semua adegan di tiap episode di bawakan dengan balutan humor, seolah dapat mengaburkan tindakan kekerasan.

 Masih banyak film lainnya yang mengandung kekerasan yang masih tayang dengan jam tonton untuk anak-anak selain kedua film tersebut, seperti Viccky and Johnny, Mong the Little Dog, Bernard Bear, dan lainnya. Berdasarkan contoh dan juga pemaparan di atas, yang disebutkan merupakan film anak-anak yang ditayangkan pertelevisian di Indonesia. Sebagian besar diwarnai oleh adegan kekerasan yang dijadikan sebagai bahan Humor.

 Maraknya komedi satire dan slapstick dalam tayangan film anak-anak, menjadi suatu keprihatinan yang besar dalam proses perkembangan mereka sebagai generasi muda yang berjiwa Pancasila. Bahwa pada faktanya film-film yang ditayangkan tersebut merupakan produksi luar yang memiliki kultur jauh berbeda dengan kultur Indonesia. Tuntutan untuk adanya tayangan yang bermutu memang sangat mendesak, tidak hanya untuk tayangan anak-anak saja, melainkan juga harus merambah pada tayangan-tayangan lain, bahkan untuk acara berita sekalipun. Hal ini karena, jam tayang di pertelevisian Indonesia belum sesuai dengan kondisi pola aktivitas masyarakat Indonesia, yang dikhawatirkan anak-anak menyaksikan sesuatu yang belum sesuai dengan daya tangkap pikiran mereka, meskipun sudah ada upaya untuk iklan rokok ditayangkan pada malam hari.

 Meskipun tayangan film anak-anak di beri label BO (Bimbingan Orangtua), SU (Semua Umur) dan A (anak-anak), tidak ada jaminan anakanak didampingi saat menonton, dan jelas kekerasan sudah mulai kabur dalam makna dan tindakan. Selain itu, hal lain yang mungkin terjadi adalah orang dewasa bukan mendampingi anak-anak dalam menonton, melainkan mereka bersama menonton. Oleh karena itu pesan menjadi tidak berfungsi bila kemasan yang disajikan tidak tepat. Penonton tentu akan lebih terpikat terlebih dahulu pada kemasan dibanding isi (yaitu pesan yang sebenarnya ingin disampaikan). Bahwa kartun bukan tidak baik bagi anak-anak, namun semua bergantung juga pada konten dari tayangan tersebut dan kondisi anak yang menonton. Imajinasi memang tidak terbatas, namun harus dipertegas kembali mana bagian imajinasi dan mana yang masuk pada realitas.

 FILM kartun selama ini selalu diidentikkan dengan anak-anak. Karakter tokoh dan ceritanya yang lucu juga selalu dianggap sebagai hiburan yang tepat bagi anak. Padahal, dekade terakhir, pada perkembangannya kartun tidak lagi dimonopoli cerita tentang anak. Karakternya juga tidak lagi lucu dan menggemaskan, tidak jarang yang terkesan seronok dan pornografi. Padahal, sejumlah penelitian menyebutkan, tayangan kartun mempengaruhi perkembangan karakter anak. Jika kartun banyak menayangkan hal-hal yang positif, tentu masih ada harapan dampak positifnya terhadap perkembangan sang anak. Seperti membantu anak menambah kosa kata baru dan meningkatkan rasa ingin tahu pada anak.

Namun, jika tayangan kartun yang banyak ditonton sang anak banyak mengandung hal negatif, seperti kekerasan dan pembunuhan, bukan tidak mungkin karakter anak juga terpengaruh negatif. Seperti adanya kecenderungan menjadi anak soliter atau selalu menyendiri, memengaruhi kognitif anak, mempengaruhi perilaku anak hiperaktivitas, mempengaruhi emosi anak yang berakibat mudah marah dan menyebabkan keterasingan atau hambatan kemampuan dalam bersosialisasi.

Kondisi ini sejatinya mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, termasuk pemerintah dan stakeholder pengendali serta pengawas siaran televisi. Sehingga tayangan kartun yang tidak mendidik dan mengandung hal-hal negatif tidak boleh disiarkan. Bahkan, bila perlu, diberikan sanksi bagi televisi yang tetap menyiarkan tayangan kartun yang mengandung kekerasan dan pornografi.

Terlebih kepada para orang tua di rumah. Pengawasan dan pendampingan terhadap anak ketika menonton tayangan kartun tidak boleh ditawar lagi. Sehingga ketika ada tayangan yang tidak layak dan mengandung hal negatif dapat langsung diluruskan oleh orang tua, atau setidaknya sang anak tidak dibolehkan lagi menonton tayangan tersebut.

Selain itu, anggapan kebanyak orangtua, bahwa semua film kartun layak ditonton oleh anak, secepatnya diubah. Karena, banyak temuan tentang tayangan kartun yang tidak mendidik, termasuk yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak sopan, serta aksi kekerasan dan pornografi.

Penelitian terakhir menyebutkan, isi cerita dari tayangan kartun saat ini justru mengarah dalam aksi kekerasan yang persentasenya mencapai 80 persen, sedangkan lebihnya mengandung unsur pendidikan dan hiburan. Bukan tidak mungkin, tayangan aksi kekerasan itu akan mendorong anak berperilaku yang sama, karena beranggapan bahwa aksi kekerasan adalah hal yang biasa dan tidak terlarang.

“Pengaruh televisi tidak lepas dari pengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan pada umumnya. Bahwa televisi menimbulkan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, sudah banyak mengetahui dan merasakannya, baik pengaruh positif ataupun negatifnya. Acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan persepsi, dan perasaan para penonton. Sehingga mengakibatkan penonton terharu, terpesona, atau latah. Sebab salah satu pengaruh psikologis televisi seakan-akan menghipnotis penonton sehingga mereka seolah-olah hanyut dalam keterlibatan kisah atau peristiwa yang disajikan televisi. Setiap orang akan senang jika menonton tayangan yang disukainya di televisi”.

Acara di televisi juga dapat mempengaruhi kecerdasan moral seorang anak. Misalkan ketika melihat suatu adegan dalam sebuah sinetron. Anak melihat pemain sinetron berperilaku kasar terhadap lawan bermainnya seperti memukul atau mencaci maki dengan orang yang lebih tua. Ataupun sebaliknya, pemain sinetron berperilaku baik seperti saling membantu terhadap sesama manusia, peduli terhadap orang yang tidak mampu, maupun bertutur kata yang baik terhadap orang yang lebih tua.  Di sinilah kontrol diri seorang anak akan teruji, apakah ia akan membuat keputusan untuk mengikuti perilaku yang dilakukan pemain tersebut atau tidak.


KESIMPULAN

Awal masa kanak-kanak merupakan awal pembentukan perilaku dimana orang tua harus memiliki perhatian ekstra kepada anak-anaknya. Pada tahap ini rasa keingin tahuan anak tenatang sesuatu cukup besar dan anak-anak cenderung meniru apa yang sedang disaksikan olehnya. Film kartun merupakan tayangan favorit bagi sebagian besar anak-anak pada usia awal masa kanak-kanak. Maraknya film kartun yang mengandung unsur kekerasan menimbulkan beberapa damapak bagi perilaku anak. Anak-anak cenderung bersikat agresif dan banyak melakukan kekerasan. Televisi merupakan media massa yang memberikan informasi melalui visual dan suara mempunyai pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya pada perkembangan pola pikir dan perilaku anak-anak. Dampak dari media massa tersebut meliputi dampak positif dan dampak negatif. Masa anak-anak adalah masa dimana akan terbentuknya pola berpikir dan perilaku anak yang akan sangat berpengaruh dalam kehidupan anak tersebut nantinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan kepada anak saat mereka menonton acara televisi yang mereka nilai acara tersebut menarik. Seperti yang telah diketahui bahwa televisi dapat memberikan informasi dan dapat menghibur anak-anak. Namun, apabila anak tersebut menonton televisi secara berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya mengganggu konsentrasi anak dan mengurangi kreativitas anak tersebut. Oleh karena itu, agar hal-hal tersebut tidak terjadi pada anak, diperlukan penanganan khusus dan peran serta dari pihak orang tua, guru, dan stasiun televisi yang bersngkutan dalam menayangkan program acaranya.