Resume jurnal
Humor
Kekerasan Film Anak-Anak Televisi Indonesia dan Pengaruhnya
Terhadap
Pembentukan Pola Pikir Anak-Anak
Endah Agustiani*
endah.agustiani@gmail.com
PENDAHULUAN
Kekerasan adalah hal yang paling banyak mewarnai
acara-acara televisi saat ini, baik itu acara lokal maupun import. Baik itu
dalam berita-berita yang ditayangkan dengan tujuan agar masyarakat luas dapat
menerima informasi tentang apa yang terjadi di luar wilayah dan pengetahuan
mereka, maupun dalam tayangan-tayangan hiburan yang dibuat seperti sinetron, movie,
sinema, acara sitkom, bahkan masuk dalam tayangan-tayangan dalam program
anak. Kekerasan telah menjadi fenomena umum, mulai dari kasus-kasus kriminal
yang disajikan dalam tiap tayangan program berita sampai masuk dalam ranah
humor sebagai tontonan hiburan untuk masyarakat.
Semua
pemberitaan itu telah menjadi santapan sehari-hari saat menonton televisi,
bahkan penonton bisa tertawa karena kekerasan telah dibalut oleh
kekonyolan-kekonyolan para pemain di acara televisi, mulai dari perkataan
sampai tindakan dan semua itu dianggap lumrah. Kekerasan tidak hanya berwujud
pada tindakan secara fisik namun juga berupa psikis, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Penampilan yang menarik secara visual ini merupakan
langkah awal memasuki dan mendekati dunia anak-anak yang penuh imajinasi dan lugu.
Jam tayangnya pun merupakan jam tayang untuk anak-anak.
Meskipun berlabel BO (Bimbingan Orangtua) dan A
(Anak-anak), namun terkesan jauh dari sifat mendidik, apalagi bila acara tersebut
ditonton tanpa didampingi oleh orangtua atau orang yang lebih dewasa untuk bisa
membantu anak mencerna pesan dari tayangan-tayangan tersebut. Apa yang nampak
akan menjadi pemahaman bagi mereka tentang apa itu realitas, dan membentuk pola
pikir sesuai dengan karakter-karakter yang dimainkan di dalam tayangan-tayangan
tersebut.
Pentingnya penelitian ini mengacu pada bagaimana
pada akhirnya apa yang ditayangkan di televisi terhadap proses pembentukan pola
pikir penonton dalam hal ini adalah anak-anak. Pembentukan pola pikir terkait
erat dengan proses pembentukan karakter atau kepribadian anak. Apa yang menjadi
pola pemahaman akan berpengaruh sangat besar pada tindakan yang diambil. Oleh
karena itu, penelitian ini penting dalam tahap menguraikan pesan dan visi yang
terdapat dalam setiap film anak-anak dan pengaruhnya dalam membentuk pola pikir
dan pemahaman atas realitas. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan
pemahaman yang komprehensif tentang konsep humor kekerasan film anak-anak di
televisi Indonesia dan keterkaitannya terhadap pembentukan pola pikir dan
pemahaman realitas penonton anak-anak. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian
ini adalah membuka wacana dan pemikiran masyarakat untuk lebih peka terhadap
efek kemajuan teknologi terhadap generasi muda,juga agar lebih mampu menguatkan
pembentukan karakter generasi muda sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
TEORI
Pemahaman mengenai kekerasan dapat dilihat dari
berbagai pespektif, yang paling banyak digunakan yaitu teori psikologis,
fenomena kekerasan, dan gejala kekerasan dalam sejarah manusia. Ketiga hal
tersebut merasuk dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti kekerasan
dalam pendidikan, struktural, agama dan budaya. Tindakan maupun perilaku
dikatakan sebagai bentuk kekerasan jika sudah melampaui batas kemanusiaan (inhumanity),
yang telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia. Beriring dengan hal itu
(kekerasan), maka muncul juga gejalagejala yang mengarah pada perdamaian,
keamanan, toleransi,kebajikan, dan kasih sayang, dan kedua hal itu saling
bertumpang tindih dalam proses sejarah, hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Suryo (Arifin, 2000: 32). Perbedaan antara perilaku kekerasan dengan tindakan
kekerasan adalah, perilaku (behavior) dilakukan secara berulang– ulang
hingga membentuk habit, sedangkan tindakan kekerasan bersifat sementara,
dan pada kasus atau kejadian-kejadian tertentu.
Perilaku
anak dalam mencontoh apa yang ia lihat dalam tontonan juga bisa di jelaskan
dengan teori yang di kemukakan oleh Albert Bandura (Social learning theory). Lingkungan adalah faktor utama
dalam proses pertumbuhan, akan tetapi dalam teori pembelajaran sosial dikatakan
bahwa dorongan utama dari perkembangan adalah bersumber dari orang. Social
learning theory menyatakan bahwa orang-orang belajar tentang perilaku
sosial yang benar dengan cara mengobservasi dan mengimitasi model yang mereka
lihat. Mengimitasi model merupakan elemen yang paling penting dalam bagaimana
seorang anak belajar bahasa, berhadapan dengan agresi, mengembangkan perasaan moral,
dan belajar perilaku sesuai dengan gendernya.
Teori
pembelajaran Bandura yang terbaru disebut dengan teori kognitif sosial. Proses
kognitif terjadi saat seseorang mengamati si model, mempelajari perilaku pada
model tersebut, kemudian menyatukan apa yang yang telah dia perhatikan tersebut
ke dalam sebuah pola perilaku yang baru. Dengan demikian, secara bertahap
anak-anak akan membentuk standar penilaian atas tindakan mereka sendiri dan
menjadi lebih selektif dalam memilih model yang merujuk pada standar tersebut.
Dalam
sebuah eksperimen yang dilakukan Bandura (1995) mengilustrasikan bagaimana
pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai
penguat atau penghukum. Eksperimen ini juga mengilustrasikan perbedaan antara
pembelajaran dan kinerja ( performance). Sejumlah anak taman kanak-kanak secara
acak ditugaskan untuk melihat 3 film dimana ada seseorang (model) sedang
memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka bobo. Dalam
film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan, dan dipuji karena
melakukan tindakan agresif.
Dalam
film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar karena bertindak agresif. Dalam
film ketiga, tidak ada konsekuensi atas tindakan si penyerang boneka. Kemudian
masing-masing anak dibiarkan sendiri berada di ruang penuh mainan, termasuk
boneka bobo. Perilaku anak diamati melalui cermin satu arah. Anak yang menonton
film dimana perilaku penyerang diperkuat atau tidak dihukum apapun lebih sering
meniru tindakan model ketimbang anak yang menyaksikan si penyerang dihukum.
Anak lelaki lebih agresif ketimbang anak perempuan. Namun, poin penting dalam
studi ini adalah pembelajaran observasi terjadi sama ekstensifnya baik itu
ketika perilaku agresif diperkuat maupun tidak diperkuat. Poin penting kedua
dalam studi ini difocuskan pada perbedaan antara pembelajaran dan kinerja karna
murid tidak melakukan respon bukan berarti mereka tidak mempelajarinya. Dalam
studi Bandura, saat anak diberi insentif ( dengan stiker atau jus buah) untuk
meniru model, perbedaan dalam perilaku initatif anak dalam tiga kondisi itu
hilang. Bandura percaya bahwa ketika anak mengamati perilaku tetapi tidak
memberikan respon yang dapat diamati, anak itu mungkin masih mendapatkan respon
model dalam bentuk kognitif.
Menurut
Bandura ada 4 proses yang terlibat didalam pembelajaran melalui pengamatan:
1.
Attention
Pengamat
harus memberi perhatian pada apa yang dikatakan dan dikerjakan oleh model
(orang yang diamati). Memberi perhatian kepada model dipengaruhi oleh karakteristik
model tersebut. Orang yang hangat, memiliki kekuasaan, unik akan sanggup
menyita perhatian dari pada orang yang dingin, lemah atau biasa-biasa saja.
Contoh
: pengamat melihat seorang wanita yang sedang memegang seekor laba – laba
besar. Ia merasa sangat takjub.
2.
Memory
Pengamat
harus mengingat setiap informasi didalam ingatan sehingga dapat mengeluarkan
ingatan tersebut saat diperlukan yang akan membantu pengamat meniru sifat
model.
Contoh
: pengamat selalu mengingat model yang tidak takut memegang laba-laba.
3.
Imitation
Pengamat
harus mampu mengingat informasi dan kemudian meniru sikap yang dilakukan oleh
model.
Contoh
: pengamat akan meniru rasa tidak takut dan cara model memegang seekor
laba-laba.
4.
Motivation
Pengamat
harus memiliki beberapa alasan atau dorongan untuk meniru sikap model. Pada
banyak kejadian, kita dapat memberikan perhatian dengan baik pada apa yang
model lakukan, mengendapkan informasi tersebut dan memiliki alasan atau
dorongan yang baik untuk melakukan tindakan yang dilakukan oleh model.
Perilaku
meniru model ini lah yang nantinya akan di lakukan oleh anak ketika mereka
dihadapkan dengan dontonan-tontonan yang mengandung kekerasan. Tahap awal dalam
belajar adalah imitasi. Dengan kata lain, beragam materi yang masuk dalam benak
seorang anak yang sedang menambah pengetahuannya akan teraktualisasi dalam
perilaku meniru. Materi film yang terserap ke dalam jiwa anak-anak juga menjadi
materi pembelajaran yang menambah pengetahuan dan terimplementasikan dalam
bentuk kelakuan fisik yang dapat direkam oleh lingkungan sekitarnya.
Pengaruh yang bisa ditimbulkan dari tayangan
kekerasan bervariasi tergantung dari usia anak, jenis kekerasan yang dilihat,
dan juga seberapa sering anak melihat kekerasan tersebut. Dalam teori tersebut
ditekankan peran imitasi terhadap perilaku orang lain sebagai penyebab
agresi. Orang yang baru saja melihat orang lain bertindak agresif cenderung
melakukan hal yang sama pada situasi yang serupa. Imitasi atau peniruan
merupakan salah satu faktor yang dominan pada anak-anak, karenanya timbul
istilah bahwa anak-anak adalah imitator ulung. Proses inilah yang menjadikan
usia anak sangat rentan terhadap pengaruh adegan kekerasan di televisi.
Pada tahap
ini, anak belum sampai pada proses berpikir yang cukup kompleks. Kemampuan
meniru yang sangat besar menyebabkan anak memiliki kecenderungan meniru apa
saja yang dia lihat dan dijadikan referensi. Proses meniru ini sebenarnya yang
berbahaya karena pada saat meniru anak belum dibekali dengan kemampuan analisis
atau berpikir yang cukup tentang layak atau tidaknya dia meniru sesuatu.
Perkembangan kognitif anak tahap pra-operasional (18 bulan—7
tahun) PIAGET
Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum
mampu (secara perseptual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk
mengambil perspektif orang lain. Cara berpikir pra-operasional sangat memusat
(centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional,
maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan
mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya
antara dimensi-dimensi ini.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik
(irreversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan
memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Berpikir
pra-operasional yang transductive (pemikiran yang meloncat-loncat). Tidak dapat
melakukan pekerjaan secara berurutan . Dari total perintah hanya satu/ beberapa
yang dapat dilakukan.
Berpikir
pra-operasional adalah imaginatif, yaitu menempatkan suatu objek tidak
berdasarkan realitas tetapi hanya yang ada dalam pikirannya saja. Ketika
kemudian anak diberi kan tontonan berupa kartun yang mengandung kekerasan, anak
belum mampu untuk menalar tontonan tersebut apakah itu baik atau buruk. Anak-anak
hanya tau bahwa tontonan itu lucu, enak, dan menghibur. Proses kognitif yang
masih terbatas kemudian akan mengolah informasi yang masuk melalui tontonan
kartun yang mengandung kekerasan tersebut. Informasi tersebut akan disimpan
dalam memori si anak yang kemudian nantinya akan mempengaruhi perilaku mereka
kedepannya.
Tahap
operasional konkret PIAGET
Anak dalam umur
2,5-5 tahun sudah memasuki tahap operasional konkrit. Dimana anak mulai mampu
berfikir logis untuk mengganti cara berfikir sebelumnya yang bersifat intuitif-primitif, namun masih membutuhkan contoh-contoh
konkrit. Disinilah peran televisi sebagai media
komunikasi berperan terhadap perkembangan pola pemikiran anak. Dalam hal ini
yang berkaitan dengan kegiatan anak-anak sudah bisa mencontoh perilaku yang
dilihatnya. Misalnya jika menonton Film Kartun hal apa yang diserap oleh anak
tersebut. Anak-anak merupakan konsumen media televisi yang populasinya besar
sekali. Pada umumnya anak-anak senang sekali menonton tayangan yang menampilkan
perkataan - perkataan yang baru mereka dengar. Jadi dengan demikian, kartun
dapat dengan mudah untuk mempengaruhi bahasa kepada anak.
PEMBAHASAN
Kekerasan yang marak terjadi dalam realitas,
seringkali di eksploitasi di media massa. Seperti apa yang diungkapkan dalam
penelitain LIPI pada tahun 1998 yang dilakukan di empat kota (Medan,
Ujungpandang, Bogor, dan Bekasi) menyimpulkan bahwa tingkat keseringan menonton
film laga di televisi berkorelasi positif dengan tingkat kekerasan. Hal ini
terungkap bahwa setelah menonton film laga di televisi, responden memiliki
persepsi bahwa ”hidup ini keras”. Efek kemudian terbentuk adalah senang
berkelahi atau mesti bersikap keras dalam menghadapi perbedaan (Arifin, 2000:
96).
Televisi menjadi perhatian utama, karena televisi
merupakan medium sehari-hari yang banyak digemari dan mudah diakses oleh
orang-orang, bahkan menjadi sumebr informasi yang terpercaya dan aktual bagi
orang-orang. Sayangnya di dalam program-progam yang ditayangkan di televisi
banyak mengandung unsur kekerasan, bahkan untuk tayangan anak-anak sekalipun.
Apapun nama acara yang ditayangkan di televisi, selalu mengandung unsur
kekerasan baik itu acara berita maupun hiburan, yang dibalut dalam kisah drama,
horor, humor, dan reality show, kekerasan bukan lagi milik film action,
dan bahkan kekerasan telah menjadi cerita itu sendiri, cerita bukan lagi
masalah alur dan makna.
Hal yang lebih memperparah adalah kekerasan yang
dibalut oleh sensualitas, kedua hal itu seakan melekat menjadi satu paket,
untuk lebih mengesankan atau mengaburkan kedua hal itu dibumbui oleh humor.
Khususnya untuk acara anak-anak, karena sudah dibumbui oleh humor, seakan
melegalkan tindakan maupun perilaku kekerasan dalam setiap tayangan. Hal ini
dapat ditemui hampir di seluruh film maupun tayangan anak-nak lain, seperti
film kartun Tom and Jerry, perselisihan kedua hewan itu seakan tidak
pernah usai, selalu berisi persaingan, saling mengejar, dan balas dendam. Ada
kala dimana si kucing yang menang, namun lebih sering si Jerry sang tikus lah
yang menang. Mungkin hal yang hendak di tekankan di sini adalah bahwa ukuran
tidak jadi masalah, besar tidak berarti lebih kuat dan pintar. Selain film
tersebut di atas, kekerasan nampak juga pada film kartun Spongebob
Squarepants, kekerasan yang dibalut oleh humor dan kekonyolan para
pemainnya. Spongebob sebagai tokoh utama, selalu berlaku konyol namun dengan
cara yang polos, tidak diperlihatkan sebagai karakter yang jahat atau suka
berintrik, berbeda dengan karakter Mr. Crab yang mata duitan, atau Squidward
yang sering menunjukan sikap iri dan jengkel terhadap Spongebob, merasa lebih
baik dan bahkan sering membodohi Spongebob, semua adegan di tiap episode di
bawakan dengan balutan humor, seolah dapat mengaburkan tindakan kekerasan.
Masih banyak
film lainnya yang mengandung kekerasan yang masih tayang dengan jam tonton
untuk anak-anak selain kedua film tersebut, seperti Viccky and Johnny, Mong the
Little Dog, Bernard Bear, dan lainnya. Berdasarkan contoh dan juga
pemaparan di atas, yang disebutkan merupakan film anak-anak yang ditayangkan
pertelevisian di Indonesia. Sebagian besar diwarnai oleh adegan kekerasan yang
dijadikan sebagai bahan Humor.
Maraknya
komedi satire dan slapstick dalam tayangan film anak-anak,
menjadi suatu keprihatinan yang besar dalam proses perkembangan mereka sebagai
generasi muda yang berjiwa Pancasila. Bahwa pada faktanya film-film yang
ditayangkan tersebut merupakan produksi luar yang memiliki kultur jauh berbeda
dengan kultur Indonesia. Tuntutan untuk adanya tayangan yang bermutu memang
sangat mendesak, tidak hanya untuk tayangan anak-anak saja, melainkan juga
harus merambah pada tayangan-tayangan lain, bahkan untuk acara berita
sekalipun. Hal ini karena, jam tayang di pertelevisian Indonesia belum sesuai
dengan kondisi pola aktivitas masyarakat Indonesia, yang dikhawatirkan
anak-anak menyaksikan sesuatu yang belum sesuai dengan daya tangkap pikiran
mereka, meskipun sudah ada upaya untuk iklan rokok ditayangkan pada malam hari.
Meskipun
tayangan film anak-anak di beri label BO (Bimbingan Orangtua), SU (Semua Umur)
dan A (anak-anak), tidak ada jaminan anakanak didampingi saat menonton, dan
jelas kekerasan sudah mulai kabur dalam makna dan tindakan. Selain itu, hal
lain yang mungkin terjadi adalah orang dewasa bukan mendampingi anak-anak dalam
menonton, melainkan mereka bersama menonton. Oleh karena itu pesan menjadi
tidak berfungsi bila kemasan yang disajikan tidak tepat. Penonton tentu akan
lebih terpikat terlebih dahulu pada kemasan dibanding isi (yaitu pesan yang
sebenarnya ingin disampaikan). Bahwa kartun bukan tidak baik bagi anak-anak,
namun semua bergantung juga pada konten dari tayangan tersebut dan kondisi anak
yang menonton. Imajinasi memang tidak terbatas, namun harus dipertegas kembali
mana bagian imajinasi dan mana yang masuk pada realitas.
FILM kartun selama ini selalu diidentikkan dengan
anak-anak. Karakter tokoh dan ceritanya yang lucu juga selalu dianggap sebagai
hiburan yang tepat bagi anak. Padahal, dekade terakhir, pada perkembangannya
kartun tidak lagi dimonopoli cerita tentang anak. Karakternya juga tidak lagi
lucu dan menggemaskan, tidak jarang yang terkesan seronok dan pornografi.
Padahal, sejumlah penelitian menyebutkan, tayangan kartun mempengaruhi perkembangan
karakter anak. Jika kartun banyak menayangkan hal-hal yang positif, tentu masih
ada harapan dampak positifnya terhadap perkembangan sang anak. Seperti membantu
anak menambah kosa kata baru dan meningkatkan rasa ingin tahu pada anak.
Namun, jika tayangan kartun yang banyak ditonton
sang anak banyak mengandung hal negatif, seperti kekerasan dan pembunuhan,
bukan tidak mungkin karakter anak juga terpengaruh negatif. Seperti adanya
kecenderungan menjadi anak soliter atau selalu menyendiri, memengaruhi kognitif
anak, mempengaruhi perilaku anak hiperaktivitas, mempengaruhi emosi anak yang
berakibat mudah marah dan menyebabkan keterasingan atau hambatan kemampuan
dalam bersosialisasi.
Kondisi ini sejatinya
mendapatkan perhatian serius dari semua pihak,
termasuk pemerintah dan stakeholder pengendali
serta pengawas siaran televisi. Sehingga tayangan kartun yang tidak mendidik
dan mengandung hal-hal negatif tidak boleh disiarkan. Bahkan, bila perlu,
diberikan sanksi bagi televisi yang tetap menyiarkan tayangan kartun yang
mengandung kekerasan dan pornografi.
Terlebih kepada para orang tua di rumah. Pengawasan
dan pendampingan terhadap anak ketika menonton tayangan kartun tidak boleh
ditawar lagi. Sehingga ketika ada tayangan yang tidak layak dan mengandung hal negatif
dapat langsung diluruskan oleh orang tua, atau setidaknya sang anak tidak
dibolehkan lagi menonton tayangan tersebut.
Selain itu, anggapan kebanyak orangtua, bahwa semua
film kartun layak ditonton oleh anak, secepatnya diubah. Karena, banyak temuan
tentang tayangan kartun yang tidak mendidik, termasuk yang menggunakan
kata-kata kasar dan tidak sopan, serta aksi kekerasan dan pornografi.
Penelitian terakhir menyebutkan, isi cerita dari
tayangan kartun saat ini justru mengarah dalam aksi kekerasan yang
persentasenya mencapai 80 persen, sedangkan lebihnya mengandung unsur
pendidikan dan hiburan. Bukan tidak mungkin, tayangan aksi kekerasan itu akan
mendorong anak berperilaku yang sama, karena beranggapan bahwa aksi kekerasan
adalah hal yang biasa dan tidak terlarang.
“Pengaruh televisi tidak lepas dari pengaruh terhadap
aspek-aspek kehidupan pada umumnya. Bahwa televisi menimbulkan pengaruh
terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, sudah banyak mengetahui dan
merasakannya, baik pengaruh positif ataupun negatifnya. Acara televisi pada
umumnya mempengaruhi sikap, pandangan persepsi, dan perasaan para penonton.
Sehingga mengakibatkan penonton terharu, terpesona, atau latah. Sebab salah
satu pengaruh psikologis televisi seakan-akan menghipnotis penonton sehingga
mereka seolah-olah hanyut dalam keterlibatan kisah atau peristiwa yang
disajikan televisi. Setiap orang akan senang jika menonton tayangan yang
disukainya di televisi”.
Acara di televisi juga dapat mempengaruhi kecerdasan moral
seorang anak. Misalkan ketika melihat suatu adegan dalam sebuah sinetron. Anak
melihat pemain sinetron berperilaku kasar terhadap lawan bermainnya seperti
memukul atau mencaci maki dengan orang yang lebih tua. Ataupun sebaliknya,
pemain sinetron berperilaku baik seperti saling membantu terhadap sesama
manusia, peduli terhadap orang yang tidak mampu, maupun bertutur kata yang baik
terhadap orang yang lebih tua. Di sinilah kontrol diri seorang anak akan
teruji, apakah ia akan membuat keputusan untuk mengikuti perilaku yang
dilakukan pemain tersebut atau tidak.
KESIMPULAN
Awal masa kanak-kanak merupakan
awal pembentukan perilaku dimana orang tua harus memiliki perhatian ekstra
kepada anak-anaknya. Pada tahap ini rasa keingin tahuan anak tenatang sesuatu
cukup besar dan anak-anak cenderung meniru apa yang sedang disaksikan olehnya.
Film kartun merupakan tayangan favorit bagi sebagian besar anak-anak pada usia
awal masa kanak-kanak. Maraknya film kartun yang mengandung unsur kekerasan
menimbulkan beberapa damapak bagi perilaku anak. Anak-anak cenderung bersikat
agresif dan banyak melakukan kekerasan. Televisi merupakan media massa yang
memberikan informasi melalui visual dan suara mempunyai pengaruh besar pada
berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya pada perkembangan pola pikir dan
perilaku anak-anak. Dampak dari media massa tersebut meliputi dampak positif
dan dampak negatif. Masa anak-anak adalah masa dimana akan terbentuknya pola
berpikir dan perilaku anak yang akan sangat berpengaruh dalam kehidupan anak
tersebut nantinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan kepada anak saat
mereka menonton acara televisi yang mereka nilai acara tersebut menarik.
Seperti yang telah diketahui bahwa televisi dapat memberikan informasi dan
dapat menghibur anak-anak. Namun, apabila anak tersebut menonton televisi
secara berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya mengganggu
konsentrasi anak dan mengurangi kreativitas anak tersebut. Oleh karena itu,
agar hal-hal tersebut tidak terjadi pada anak, diperlukan penanganan khusus dan
peran serta dari pihak orang tua, guru, dan stasiun televisi yang bersngkutan
dalam menayangkan program acaranya.